
Sekilas sejarah_Moyang yang diyakini bisa mendatangkan hujan)
Dikisahkan bahwa pada zaman dahulu, di kampung Wotan, (sekitar 3 - 4 lapis keturunan sekarang) hiduplah seorang pemuda sebatang kara yang bernama "Pepak." Pemuda Pepak ini tinggal seorang diri di sebuah pondok/gubuk reot di kampung Wotan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, pemuda ini terpaksa harus mencuri padi dan jagung serta barang berharga lain milik warga sekitar, baik di kampung Wotan maupun kampung-kampung sekitar (Warawatung dan Lamaofong). Setiap dia mencuri, orang yang punya padi dan jagung ini akan datang meminta bayaran atau denda berupa binatang babi atau kambing dari orang tua suku Pukan. Saking seringnya pemuda Pepak ini mencuri sampai orang tua suku Pukan hampir tidak bisa membayar denda kepada pemilik barang yang dicuri oleh pemuda Pepak ini. Namun bukannya jerah, malah kebiasaan ini terus dilakukan sampai suatu hari pemuda Pepak ditangkap dan dihadapkan kepada Temukun (Pemimpin Kampung Wotan) untuk diadili dan diberikan hukuman sesuai perbuatannya.
Pada saat diadili dan akan diberikan hukuman, pemuda Pepak ini memberanikan diri berbicara, menawarkan penyelesaian.
Begini kira-kira permintaan pemuda Pepak, "Orang tua suku Pukan dan seluruh warga kampung Wotan, saya sudah mencuri sekian banyak barang milik orang-orang sekitar. Tidak usah susah-susah membayar denda atas semua barang (hasil panen dan barang lain) yang saya curi itu, karena pasti kamu juga tidak bisa membayar semua yang sudah saya curi itu. Cuma satu permintaan saya, bunuh saya di tengah Namang ini (tempat pertemuan kampung, biasanya ada satu besar di tengah tempat pemuka masyarakat/Temukun duduk) dengan cara potong leher saya sampai putus. Biarkan badan saya menggelepar dan darah saya mengalir membasahi seluruh Namang dan kampung Wotan ini. Tetapi ambil kepala saya, bawa dan semayamkan di Liang / Gua di belakang kampung Lewopenutung. Di depan liang itu ada pohon asam. Letakkan kepala saya di situ. Nanti ketika kamu mengalami musim panas berkepanjangan, kamu bisa ke sana memberi makan dan memandikan saya, putar muka saya menghadap ke barat, saya akan meminta Tuhan (Alapha) untuk memberikan kamu hujan. Begitu pula jika hujan berlebihan, kamu juga bisa meminta lewat saya untuk menjauhkan hujan, putar muka saya menghadap ke timur. Cara memandikan saya adalah dengan alat/bahan : bakul (dari mayang pinang), keruh (sejenis rumput menjalar di tanah, warna hijau abu-abu, batang berbuku) dan baki (sejenis pisang hutan). Taruh keruh dan baki itu di dalam bakul, tambahkan dengan air secukupnya, ambil kepala (tengkorak) saya dan letakkan/rendam di tengah-tengah keruh dan baki itu.
Kamu harus memberi saya makan nasi dari beras merah dan telur ayam kampung. Saya akan meminta Tuhan untuk segera memberikan kamu hujan. Dengan cara ini saya akan membayar semua utang padi dan jagung serta semua barang warga yang saya curi selama ini. Jika permintaan kamu terkabul, kamu akan melihat awan putih di sebelah barat sana, bersusun-susun sampai 7 lapis, mendung akan segera datang dari gunung dan hujan akan segera turun."
Permintaan dari pemuda Pepak ini dilakukan sesuai permintaan dan semua yang dipesannya.
Moyang yang dipercayakan untuk melakukan seremonial ini bernama "Labi Nuler." Pada masa Pastor Bruno Phell, S.J, seorang pastor berkebangsaan Jerman tidak percaya dengan seremonial dan kepercayaan orang Wotan ini, karena dianggap menyembah berhala, menyuruh orang Lewopenutung mengambil tengkorak moyang Pepak, mengikatnya dengan batu besar dan membawanya dengan berok (sampan kecil) sampai jauh ke tengah laut untuk menenggelamkannya. Namun ketika mereka kembali ke darat dan pergi ke gua itu untuk memeriksa tempatnya, tengkorak itu sudah ada di tempatnya dalam keadaan basah kuyup. Pada masa P. Arnoldus Dupont, SVD, kembali mengusik kepercayaan orang Wotan tentang tengkorak moyang Pepak yang bisa mendatangkan hujan ini. Moyang Labi Nuler dipanggil dan disuruh untuk melakukan seremonial seperti biasanya dan seketika itu juga hujan turun dengan derasnya. Dan demi kenyamanannya, moyang Pepak meminta untuk tengkoraknya dipindahkan ke bukit Hoga (Hoga vuhu) dan disemayamkan dalam sebuah pondok yang cara buat dan bahannya juga dipesankan oleh moyang Pepak. Tempat itu hingga sekarang tetap dijaga dan dirawat. Tengkorak moyang Pepak juga sudah sangat kecil, menjadi tipis karena termakan waktu yang sudah lama. Keturunan moyang Labi Nuler yang dipercayakan melakukan seremonial selanjutnya adalah Bapak Thomas Lolo, dan setelah Thomas Lolo digantikan oleh Bapak Andreas Nena Pukan (ayah saya) dan sekarang oleh kakak Gerardus Uja Pukan. Bahan-bahan yang digunakan dalam seremonial berupa beras merah dan telur ayam kampung dianjurkan untuk lebih baik disiapkan oleh saudari atau anak opu (keponakan) dari suku Pukan. Tradisi ini tetap dijaga, dipelihara dan dilakukan sampai sekarang.
Dikisahkan kembali oleh Laurensius Lado Pukan (sesuai yang dituturkan oleh alm. ayah saya Andreas Nena Pukan)
.jpeg)

